Apa itu Bell's Palsy - Definisi, Etiologi, Patofisiologi, Tanda dan Gejala, Penaganan, dan Prognosis
Pernahkah anda melihat ataupun mengalami
perot pada salah satu sisi wajah, mata yang susah untuk menutup, susah
mengangkat alis, susah pada saat minum atau makan karena keluar dari sisi yang
lemah? Apabila anda mengalmi atau pernah melihat kasus seperti diatas, itu
merupakan gejala dari Bell’s Palsy. Untuk
lebih jelasnya simak penjelasan dibawah ini.
Sir Charles Bell (1821)
adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik,
sejak itu semua kelumpuhan nervus fasialis perifer yang tidak diketahui
sebabnya disebut Bell’s palsy [ 2]. Bell’s Palsy merupakan
suatu kelumpuhan akut nervus fasialis
perifer yang tidak diketahui sebabnya [2]. Lima kemungkinan (hipotesis) penyebab
Bell’s palsy, yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi.
Hipotesis virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Sebuah
penelitian mengidentifikasi genom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion
genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal
enam minggu setelah mengalami Bell’s palsy [1].
Bell’s palsy merupakan
kasus terbanyak dari kelumpuhan akut perifer wajah unilateral di dunia.
Insidensinya adalah sebesar 20-30 kasus dari 100.000 orang. Bell’s palsy
menempati porsi sebesar 60-70% dari seluruh kasus kelumpuhan perifer wajah unilateral
[1]. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia
menunjukkan bahwa frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus
neuropati [1].
Walaupun Bell’s palsy bersifat bisa sembuh sendiri
(self-limited), penyakit ini bisa
menyebabkan penyulit seperti kerusakan mata akibat kelopak mata tidak bisa
menutup. Beberapa gejala sisa dapat muncul pada penderita akibat pengobatan
yang tidak tepat. Terapi yang dilakukan selama ini adalah untuk meningkatkan
fungsi saraf wajah dan proses penyembuhan. Kontroversi banyak terjadi pada
modalitas terapi yang dipakai. Hal ini menjadikan kesamaan persepsi mengenai
manajemen Bell’s palsy belum ada [1].
Pengetahuan tentang
anatomi dasar saraf wajah (nervus facialis) dan otot-otot wajah yang
diinervasinya adalah penting dalam pemahaman tentang Bell’s palsy. Para ahli yang menangani harus memahami anatomi dasar
yang dikaitkan dengan anatomi klinik dalam penanganan penyakit ini. Manajemen
terapi yang digunakan akan sangat terkait dengan struktur anatomi dan fungsi
serta kelainan yang berhubungan dengannya [1].
Apa
penyebab dari Bell’s Palsy ?
Etiologi Bell’s palsy terbanyak diduga adalah
infeksi virus. Mekanisme pasti yang terjadi akibat infeksi ini yang menyebabkan
penyakit belum diketahui. Inflamasi dan edema diduga muncul akibat infeksi.
Nervus fasialis yang berjalan melewati terowongan sempit menjadi terjepit karena
edema ini dan menyebabkan kerusakan saraf tersebut baik secara sementara maupun
permanen. Virus yang menyebabkan infeksi ini diduga adalah herpes simpleks [1].
Beberapa kasus Bell’s palsy
disebabkan iskemia oleh karena diabetes dan aterosklerosis. Hal ini mungkin menjelaskan
insiden yang meningkat dari Bell’s palsy pada
pasien tua. Kelainan ini analogi dengan mononeuropati iskemik pada saraf
kranialis lain pada pasien diabetes [1].
Bagaimana
Patofiologi pada Bell’s Palsy ?
Patofisiologinya
belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada
nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga
terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal [2].
Saraf fasialis
keluar dari otak di angulus ponto-cerebelaris memasuki meatus
akustikus internus. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis fasialis
memberikan cabang untuk ganglion pterygopalatina sedangkan cabang kecilnya
kemuskulus stapedius dan bergabung dengan korda timpani. Pada bagian awal dari
kanalis fasialis, segmen labirin merupakan bagian yang tersempit yang dilewati
saraf fasialis. Foramen meatal pada segmen ini hanya memiliki diametersebesar
0,66 mm [1]. Otot-otot wajah diinervasi saraf fasialis. Kerusakan
pada saraf fasialis di meatus akustikus internus (karena tumor), di telinga
tengah (karena infeksi atau operasi), di kanalis fasialis (perineuritis, Bell’s
palsy) atau di kelenjar parotis (karena tumor) akan menyebabkan distorsi wajah,
dengan penurunan kelopak mata bawah dan sudut mulut pada sisi wajah yang
terkena. Ini terjadi pada lesi lower motor neuron (LMN). Lesi upper motor
neuron (UMN) akan menunjukkan bagian atas wajah tetap normal karena saraf yang
menginnervasi bagian ini menerima serat kortikobulbar dari kedua korteks serebral
[1].
Bagaimana
Tanda dan Gejala pada penderita Bell’s Palsy ?
Pada awalnya, penderita
merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi atau
berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di daerah
mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan
cermin [2]. Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis,
kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh
menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke
atas (Bell phenomen) . Penderita
tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar
melalui sisi mulut yang lumpuh [2].
Penderita Bell's Palsy |
Manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda tergantung
lesi pada perjalanan saraf fasialis. Bila lesi di foramen stylomastoideus,
dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua otot ekspresi
wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bell’s phenomenon). Selain itu, mata
dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakuslakrimalis yang dibantu
muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan
dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan
wajah dan air liur keluar dari sudut mulut [1].
Lesi di kanalis fasialis
(di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah ganglion
genikulatum) akan menunjukkan semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid
ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang
sama [1]. Lesi yang terjadi di saraf yang menuju ke muskulus
stapedius dapat mengakibatkan hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara
keras). Selain itu, lesi pada ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi
dan berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapan . Pasien dengan
Bell’s palsy juga dapat mengalami
mata dan mulut yang kering, kehilangan atau gangguan rasa (taste), hiperakusis dan penurunan (sagging) kelopak mata atau sudut
mulut [1].
Penanganan
pada penderita Bell’s Palsy ?
Canadian
Society of Otolaryngology Head and Neck Surgery dan Canadian Neurological
Sciences Federation melakukan review terhadap beberapa
modalitas terapi Bell’s palsy. Mereka
membuat review tentang bukti
penanganan Bell’s palsy dengan
kortikosteroid dan antiviral, latihan fasial, elektro stimulasi, fisioterapi
dan operasi dekompresi. Mereka juga membahas terapi perlindungan mata,
rujukan spesialis, dan investigasi lebih jauh pada pasien yang memiliki
kelemahan wajah yang persisten dan progresif [1].
Berikut ini adalah beberapa management pada
kasus Bell’s Palsy [2] :
1.
Istirahat
terutama pada keadaan akut
2.
Medikamentosa
Prednison : pemberian
sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus BP yang secara elektrik
menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi odem dan mempercepat reinervasi.
Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada perbaikan, kemudian dosis
diturunkan bertahap selama 2 minggu.
3.
Fisioterapi
Sering dikerjakan
bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut. Tujuan
fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering
digunakan yaitu : mengurut/ massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau
dengan faradisasi.
4.
Operasi
Tindakan operatif umumnya
tidak dianjurkan pada anak- anak karena dapat menimbulkan komplikasi lokal
maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila :
a. Tidak
terdapat penyembuhan spontan,
b. Tidak
terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone,
c. Pada
pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total.
Beberapa tindakan operatif
yang dapat dikerjakan pada BP antara lain dekompresi n. fasialis yaitu membuka
kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari foramen stilomastoideum nerve
graft operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling, tarsoraphi).
Bagaimana
Prognosis pada Bell’s Palsy ?
Dalam sebuah penelitian
pada 1.011 penderita Bell’s palsy,
85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset
penyakit, 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian [2]. Pada
literatur lain penderita BP bisa sembuh sempurna dalam waktu 2 bulan dan sembuh
sempurna antara 1-3 bulan 80 % [2]. Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia
kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot
yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan
yang nyata. Penderita Bell’s palsy dapat
sembuh total atau meninggalkan gejala
sisa. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah [2]:
1. Usia
di atas 60 tahun,
2. Paralisis
komplit,
3. Menurunnya
fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
4. Nyeri
pada bagian belakang telinga dan Berkurangnya air mata.
Penderita diabetes 30%
lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan
penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi
wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15
% penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N.
VII atau tumor kelenjar parotis [2].
DAFTAR
PUSTAKA :
1.
Mujaddidah,Nur.2017.
Tinjauan Anatomi Klinik Dan Manajemen
Bell’s Palsy. Qanun Medika vol.I no.2 Juli 2017.
2. Bahrudin, Moch. 2011. Bell’s Palsy (BP). Vol. 7 No. 15 Desember 2011.
Komentar
Posting Komentar