Sistem imun yang menyerang sistem saraf
perifer sehingga terjadi kerusakan selubung myelin disebut Guillain
Barre Syndrome (GBS). Selubung myelin yang rusak mengakibatkan
keterlambatan konduksi saraf. GBS yang memiliki nama lain Infectious
polyneuritis, Acute inflammatory demyelinating
polyneuropathy, dan Landry’s ascending paralysis/landrys
paralysis merupakan paralisis neuromuskuler. Gejala yang paling khas
adalah paralisis ascending yang bersifat flasid, kelemahan
dimulai pada kaki dan tangan dan berpindah ke arah trunk. Hal ini dapat
menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa, terutama jika otot-otot pernapasan
terpengaruh atau jika ada disfungsi dari sistem saraf otonom.
Penyakit ini biasanya
dipicu oleh infeksi akut. Susunan saraf tepi yang menghubungkan otak dan
medulla spinalis dengan seluruh bagian tubuh menjadi rusak yang menyebabkan
sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon sistem
otot terhadap kerja sistem saraf oleh karena itu terjadi kelumpuhan.
Penyakit GBS tidak menular
atau keturunan, dan penyebab sebenarnya tidak diketahui. Namun, sekitar
setengah dari semua kasus terkait dengan infeksi virus atau bakteri seperti,
pilek, flu, virus hepatitis infeksi mononucleosis. Seiring berjalannya waktu dapat
diketahui bahwa GBS disebabkan oleh penyakit autoimun yang menyerang sistem
saraf perifer. Kerusakan sistem saraf menyebabkan pembengkakan pada saraf
perifer. Pembengkakan ini merusak selubung myelin. Fungsi selaput myelin adalah
mempercepat konduksi saraf. Oleh karenanya hancurnya selaput ini mengakibatkan
keterlambatan konduksi saraf bahkan mungkin terhenti sama sekali. Gejala GBS
adalah kelemahan, biasanya dari kaki berkembang ke atas. Kelemahan disertai
paresthesia, refleks hilang, bahkan gangguan pernapasan.
ADA
4 GANGGUAN YANG DIPANDANG DARI SISI FISIOTERAPI :
1.
GANGGUAN MUSCULOSKELETAL
Biasanya kekuatan otot berkurang atau melemah,
disebabkan konduksi saraf dari spinal cord ke neuromuscular junction terhambat.
konduksi saraf yang berkurang akan mengurangi bahkan menghentikan jumlah motor
unit yang bekerja. Penderita GBS lebih cepat lelah karena hanya sebagian
serabut otot yang terinervasi yang bekerja untuk menggerakkan satu otot.
Bila sebagian motor unit dalam satu otot yang masih
terkonduksi saraf, sehingga masih mampu untuk mengkontraksikan otot tersebut,
maka terjadi kelemahan (parese). Bila semua motor unit dalam satu otot tidak
terkonduksi, maka terjadi kelumpuhan (plegia). Bila otot tidak bisa
berkontraksi berarti bagian badan tersebut tidak bergerak dalam kurun waktu
lama, maka kekuatan otot terganggu, pemendekan otot, dan keterbatasan luas
gerak sendi (LGS).
2.
GANGGUAN KARDIOPULMONAL
Bila proses kerusakan selaput myelin terjadi pada
tingkat akar saraf thoracal, maka otot-otot pernafasan yaitu intercostals akan
melemah. Bahkan bila menyerang tingkat cervical, diafragma mengalami gangguan
sehingga ekspansi dada berkurang, kapasitas vital paru berkurang sehingga
fungsi ventilasi menurun.
3.
GANGGUAN SYSTEM SARAF OTONOMIK
Bila kerusakan selaput myelin mencapai tulang belakang
tingkat thoracal, maka akan terjadi juga gangguan saraf otonomik simpatik. Bila
gangguan selaput myelin mencapai saraf vagus (salah satu cranial nerves) akan
terjadi gangguan parasimpatik.
4.
GANGGUAN SENSASI
Seperti kesemutan, tebal, rasa terbakar, atau nyeri.
Pada penatalaksanaan
rehabilitasi penderita GBS, bertujuan untuk mengoptimalisasi kemampuan
fungsional penderita. Ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan
fisioterapi, yaitu fase progresif dan fase penyembuhan. Pada fase progresif,
kondisi pasien terus-menerus turun, maka perlu diperhatikan bagaimana
mempertahankan kondisi pasien agar tidak terjadi komplikasi. Pada fase
penyembuhan, peningkatan kekuatan dan optimalisasi kondisi pasien, ditujukan
pada masalah musculoskeletal dan kardiopulmonal. Tujuan dari program terapi
adalah untuk mengurangi defisit fungsional dan untuk menargetkan gangguan dan
cacat akibat GBS.
Meskipun ada 4 gangguan
yaitu musculoskeletal, kardiopulmonal, system saraf otonomik, dan sensasi ,
akan tetapi dalam penatalaksanaan praktik fisioterapi tetap satu kesatuan, tidak
bisa dipisahkan tiap gangguan, karena sulitnya memisahkan satu gangguan dengan
yang lain. Namun agar lebih mudah dipahamai, maka praktik akan diuraikan tiap
gangguan secara detail.
PENATALAKSANAAN
FISIOTERAPI PADA GANGGUAN MUSCULOSKELETAL:
Terdiri dari 2 fase:
·
Fase pertama
Mempertahankan kekuatan otot, panjang otot, luas gerak
sendi (LGS), perlu diperhatikan bahwa kondisi pasien masih akan terus memburuk
dalam waktu maksimal 2 minggu.
·
Fase kedua :
Meningkatan kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan
jumlah motor unit yang kembali bekerja.
PENATALAKSANAAN
FISIOTERAPI PADA GANGGUAN KARDIOPULMONAL:
Untuk meningkatkan
kemampuan ekspansi dada, latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan bantuan
ventilator atau manual hyperinflation. Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan
kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli menjadi meningkat dan mampu
memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu juga memelihara kelenturan
jaringan-jaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang
rusuk terpelihara. Untuk membersihkan saluran pernapasan, dengan bantuan
ventilator atau manual hyperinflation. Dengan teknik tertentu, maka panjang
ekspirasi bisa diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu
ekspirasi bisa meningkat.
Dengan demikian sekresi
saluran pernafasan bisa dikeluarkan. Selain menggunakan bantuan ventilator dan
manual hyperinflation, bisa dilakukan postural drainage untuk membantu
memindahkan sekresi dari saluran pernafasan yang distal ke yang lebih
proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan, penderita harus
mampu batuk, atau bila tidak harus dilakukan suction.
PENATALAKSANAAN
FISIOTERAPI PADA GANGGUAN SYSTEM SARAF OTONOMIK:
Biasanya terdapat gangguan
seperti labilnya tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai keadaan, atau
postural hipotensi. Hal ini mengganggu saat mobilisasi. Maka, dalam memberikan
tindakan fisioterapi harus selalu dicermati tekanan darah dari waktu ke waktu.
Bila memungkinkan digunakan spirometer elektronik yang terus bisa dimonitor
setiap saat. Keempat, penatalaksanaan fisioterapi pada gangguan sensasi, rasa
muncul biasanya rasa terbakar, kesemutan, rasa tebal atau nyeri.
Tindakan yang bisa
dilakukan adalah peregangan, manipulasi atau mobilisasi. Perubahan posisi saat
praktik juga perlu dilakukan setiap 2 jam untuk mencegah rasa tebal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Harian
Jurnal Asia. 2014. GBS atau Peradangan Akut. https://www.jurnalasia.com/rubrik/gbs-atau-peradangan-akut/
2. Kemenkes.
2011. Guillain Barre Syndrome. http://www.depkes.go.id/article/print/1628/guillain-barre-sindrom.html
3. Khan,
Farry. 2004. Rehabilitation in Guillian Barre syndrome. Reprinted from
Australian Family Physician. Vol. 33. No. 12. 1013-1017.
Komentar
Posting Komentar