Sejarah dan arah perkembangan pendidikan Fisioterapi di Indonesia

Kemarin kita sudah membahas tentang sejarah keilmuan fisioterapi dunia, sekarang kita akan membahas lagi tentang sejarah fisioterapi di Indonesia dan Bagaimana perkembangan pendidikan Fisioterapi di Indonesia kedepannya.
SEJARAH PENDIDIKAN FISIOTERAPI DI INDONESIA
Berawal pada tahun 1956 berdiri Sekolah Perawat Fisioterapi yang diikuti oleh utusan dari Rumah Sakit dan orang yang telah berpengalaman dalam bidang keperawatan selama 2 tahun dan memiliki ijazah SMP. Kemudian, pada tahun 1957 didirikan Sekolah Assisten Fisioterapi. Perkembangan selanjutnya berdiri Akademi Keperawatan Fisioterapi (1967 – 1970). Awal berdirinya Akademi Fisioterapi Murni Non. Keperawatan pada Tahun 1970 di Solo-Jawa Tengah. Yang kemudian disusul pada tahun 1984 Akademi Fisioterapi (Akfis Depkes Ujungpandang) di jalan adiaksa,kemudian direlokasi ke Daya Ujungpandang tahun 1988. Hingga saat ini institusi penyelenggara pendidikan fisioterapi terdiri dari Program Pendidikan Fisioterapi dengan jenjang Diploma III sebanyak 33 program studi, jenjang diploma IV sebanyak 8 program, Pendidikan S1 Fisioterapi sebanyak 11 program, pendidikan profesi sebanyak 2 program dan program magister dengan kekhususan fisioterapi terdapat 1 program.
ARAH PENGEMBANGAN PENDIDIKAN FISIOTERAPI DI INDONESIA
WCPT (World Confederation for Physical Therapy) sebagai organisasi fisioterapi dunia dalam policy statement tentang pendidikan fisioterapi menyatakan bahwa: “Education for entrylevel physical therapists should be based on university or university level courses of at leastfour years. WCPT acknowledges that there is variation inprogramme delivery in entry level qualifiction including Bachelors, Master and Doctorate entry qualification ”(The 17th General Meeting of WCPT June, 2011).
Demikian pula pernyataan tentang pedoman pendidikan klinis sebagai komponen dari pendidikan profesi fisioterapi di dunia. Keputusan Kongres Nasional ke-XI IFI (Ikatan Fisioterapi Indonesia) di Medan Juni 2012, nomor TAP/03/KONAS XI/VI/2012, mengamanahkan pendidikan fisioterapi Indonesia mengarah kepada pendidikan profesi dan pengembangan pendidikan fisioterapi spesialis. Pada kongres tersebut juga menetapkan Standar Pendidikan Profesi Fisioterapi Indonesia yang dituangkan dalam ketetapan nomor TAP/05/KONAS XI/VI/2012. Arah pengembangan pendidikan fisioterapi menuju pada pendidikan profesi sejalan dengan Undang-Undang no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dimana dinyatakan bahwa Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang menyiapkan mahasiswa dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan keahlian khusus (Pasal 17 ayat 1). PMK No. 80 th 2013 juga memberikan kewenangan dan kemandirian dalam menjalankan praktik dan atau pekerjaan sebagai profesi. Hal tersebut tertuang pada pasal pasal 6 ayat 1 yaitu “Fisioterapis profesi dapat menjalankan praktik pelayanan Fisioterapi secara mandiri atau bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan”.
Fisioterapis dalam memberikan pelayanan fisioterapi memiliki tanggungjawab profesi yang secara hirarki dapat diawasi oleh fisoterapis dengan kompetensi yang lebih tinggi. Fisioterapis juga bekerjasama/berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya. Hal tersebut tertuang pada PMK No. 80 th 2013 pasal 6 ayat (4) dan (5), yang menyatakan : Ayat 4 “Fisioterapis Ahli Madya atau Fisioterapis Sains Terapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus bekerja di bawah pengawasan Fisioterapis Profesi atau Fisioterapis Spesialis”.
Undang-undang no 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan menyatakan bahwa Sertifikat profesi diperoleh dari pendidikan profesi. Sementara itu syarat untuk mendapatkan surat tanda registrasi salah satunya adalah adanya sertifikat profesi, sehingga pendidikan menjadi syarat utama bagi lulusan pendidikan S1 Fisioterapi agar dapat memiliki kewenangan profesinya di masyarakat. Pada saat yang sama tantangan profesi Fisioterapi Indonesia pada tahun 2015 Indonesia harus mengikuti kesepakatan ASEAN Free Trade Area (AFTA) , bahwa Indonesia memasuki perdangan bebas Asia Tenggara, dimana profesi Fisioterapi termasuk pelayanan jasa yang bebas diperdagangkan. Hal ini sesuai dengan hasil pererundingan putaran Uruguay (Uruguay Round) dengan adanya kesepakatan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) oleh World Trade Organization (WTO). Dengan demikian maka keberadaan AFTA dan GATT dapat menjadi ancaman bagi eksistensi Fisioterapis di Indonesia, dimana standar kompetensi yang dimiliki oleh fisioterpis saat ini belum memenuhi standar minimal fisioterapi dunia. Untuk itu dibutuhkan pengelolaan yang baik terhadap masalah tersebut agar fisioterapis indonesia tidak menjadi “tamu di negara sendiri”.

Kesimpulan : Pendidikan FT di Indonesia yang berawal dari tahun 1956 yaitu berdiri Sekolah Perawat Fisioterapi, hingga sekarang mengalami peningkatan yang sangat signifikan terbukti saat ini institusi penyelenggara pendidikan fisioterapi terdiri dari Program Pendidikan Fisioterapi dengan jenjang Diploma III sebanyak 33 program studi, jenjang diploma IV sebanyak 8 program, Pendidikan S1 Fisioterapi sebanyak 11 program, pendidikan profesi sebanyak 2 program dan program magister dengan kekhususan fisioterapi terdapat 1 program. Meskipun masih banyak yang harus dikembangkan lagi apabila di bandingkan dengan pendidikan FT di negara-negara lain sudah sampai pada tingakat S3. Semoga FT Indonesia kedepannya lebih maju sehingga tidak menjadi “tamu di negara sendiri”

Komentar